Akhir-akhir ini saya dihujani oleh banyak
undangan pernikahan dari teman, partner
kerja, ataupun kerabat. Mendapat undangan pernikahan adalah hal yang sangat
biasa bagi saya. Namun, yang tidak saya sangka adalah salah seorang teman dekat
saya, sangat dekat bahkan, mengirimkan undangan resepsi pernikahannya hanya
dengan melalui sebuah pesan singkat. Teman dekat saya ini, walaupun dia
laki-laki namun dia sudah saya anggap lebih dari sekedar teman atau saudara,
sampai-sampai saya sendiri tidak pernah menghitung berapa banyak uang saya yang
sudah dia pinjam atau pakai baik dia sengaja atau tidak sengaja untuk tidak
mengembalikannya. Namun, bukan itu permasalahannya. Saya merasa mengapa saya
harus jadi orang yang tidak tahu rencana pernikahannya dan terlibat langsung
dalam rencana pernikahannya. “Ah, dia memang selalu begitu.” Hanya kalimat itu
satu-satunya cara saya untuk memakluminya. Terlepas dari bagaimana dia
mengundang saya, saya tetap datang ke resepsi pernikahannya walaupun saya harus
bangun pagi untuk menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan namun
masih bisa ditempuh dengan kendaraan umum. Ternyata, resepsi tersebut memang
dikhususkan untuk para keluarga dan kerabat dekat saja. Ya, saya sangat
mensyukuri hal itu, ternyata saya sudah dia anggap sebagai salah satu
kerabatnya.
Sepulang dari perjalanan yang melelahkan itu,
saya berpikir dan termenung kemudian menuliskan sebuah kalimat: “Being grown-up means seeing your friends
leave and then being alone.” di sebuah situs jaringan sosial. Cukup sulit
memang untuk menjadi dewasa dengan cara seperti itu, karena saya harus
menjalani hari-hari saya tanpa teman-teman yang sudah mengukirkan
kenangan-kenangan indah yang sebenarnya sulit untuk saya hapus. Namun, yang
sangat menyulitkan sebenarnya adalah kesendirian yang harus saya hadapi setelah
teman-teman saya pergi satu per satu untuk memulai kehidupan mereka yang baru,
yang selazimnya mereka mungkin tidak akan membutuhkan saya lagi, walaupun hanya
sekedar berbagi rasa tentang sebuah pernikahan, “karena pernikahan itu tidak
akan indah dinikmati kalau kita hanya mendengarkan cerita-ceritanya saja, tanpa
pernah mengalaminya”. Itu lah salah satu statement
teman saya.
Ah, pernikahan bagi saya masih terasa absurd. Entah karena saya belum memiliki alasan kenapa saya harus menikah di pertengahan usia saya yang ke-25 ini atau karena saya belum benar-benar menginginkannya. Walaupun, ibu saya selalu memaksa anak perempuan pertamanya ini untuk cepat-cepat menikah, namun saya sendiri menginginkan satu saja alasan kenapa saya harus menikah, sekalipun alasan itu adalah hanya karena sebuah unwillingness pregnancy. Sehingga, saya selalu berpikir kalau pernikahan itu adalah salah satu atau satu-satunya cara untuk membahagiakan ibu saya. Saya mengerti alasan umum yang dilontarkan setiap teman yang mau atau akhirnya menikah; baik itu karena usia yang semakin bertambah, atau karena pandangan masyarakat yang terlalu sibuk untuk mengurusi hubungan seseorang, ataupun alasan yang sangat romantis, karena takut untuk kehilangan cinta yang telah terbina atau orang yang kita cintai. Untuk dua alasan terakhir diatas pastinya tidak dapat saya jadikan alasan mengapa saya harus menikah.
Mungkin lebih enak kalau saya bicara alasan
mengapa saya masih sendiri, karena saya hapal dengan jelas runutan dari ber
poin-poin alasan tersebut, walau saya pun tidak akan menjelaskannya poin per
poin. Sebuah alasan walaupun itu terlihat klise namun itu tetap alasan yang
patut dipertimbangkan. Saya merasa dalam kesendirian saya, saya belum bertemu
laki-laki yang tepat. Klise kan? Ya, mungkin untuk sebagian orang yang sudah
berpasangan akan menganggap itu hal yang klise. Berpasangan itu memang indah.
Semua orang pasti akan setuju dengan pendapat tersebut. Namun saya merasa diri
saya terlalu berharga hanya untuk jatuh ke lubang yang salah. Maka dari itu,
sebelum saya benar-benar terjun dalam satu ikatan yang salah, biarkanlah diri
saya ini mempunyai sedikit waktu dan ruang untuk sekedar bermain dan
mengembangkan diri. Sebelum kebebasan saya itu benar-benar terenggut. Silahkan
saja menyebut hal itu sebagai alasan klise yang kedua.
Belum
bertemu laki-laki yang tepat bukan karena saya tidak pernah mencarinya. Saya
memiliki banyak teman laki-laki, baik yang lebih muda, sebaya ataupun lebih
tua, dan juga dari berbagai kalangan. Walaupun terkadang saya berteman dalam
sebuah geng atau grup, saya adalah orang yang mampu untuk sekedar jalan bareng
atau mengobrol bareng dengan teman yang tidak akrab ataupun orang baru. Maka
dari itu, saya tidak masalah kalau untuk berkenalan dengan laki-laki baru dan
kemudian ‘having blind date’. Ya,
saya pernah mengalaminya dua sampai tiga kali. Namun, selalu saja ada hal yang
tidak berjalan mulus pada akhirnya. Dan itu disebabkan karena saya yang selalu
merasa, “He’s not the right one.” Atau, “He’s
not the perfect of mine.” Mungkin ini adalah alasan klise nomor tiga.
Atau karena saya tidak pernah jatuh cinta? Ah,
jangan tanyakan masalah itu, karena saya adalah orang yang mudah tersentuh dan
mudah untuk jatuh cinta, walaupun pada akhirnya saya sangat sulit untuk
menghilangkan rasa cinta itu. Ya, banyaknya teman laki-laki membuat saya
terkadang sedikit menyimpan rasa suka terhadap teman-teman saya itu. Mungkin,
saya adalah orang yang tidak bisa jatuh cinta pada pertemuan pertama, kedua,
atau ketiga. Tapi saya selalu jatuh cinta dan luluh hanya karena sebuah
intensitas pertemanan. Tapi, pertemanan itu terlalu indah hanya untuk dirusak
oleh perasaan yang membutakan. Dan akhirnya, saya tidak pernah bisa berpacaran
dengan atau memacari teman saya. Sebutlah ini sebagai alasan klise keempat.
Bagaimana dengan berpacaran? Dari SMP saya
sudah mengalami naik turunnya perasaan yang dipermainkan oleh satu hal yang
disebut cinta dan dari SMP pula saya sudah terbiasa menjadi bintang (bintang
kelas maksudnya) yang mungkin bisa dijadikan dasar sebagai gadis yang patut
untuk dipacari. Dua sampai empat kali saya menolak teman laki-laki saya saat saya
berada di bangku sekolahan. Berbagai macam alasan klise pula saya lontarkan
pada saat itu, karena mau fokus belajar ataupun sebenarnya hanya karena satu
hal, “I don’t like you boy.” Dan hanya ada dua laki-laki yang dapat
menggoreskan warna-warna indah kisah cinta semasa sekolah dan kuliah yang
sekaligus menorehkan luka dan pelajaran penting nan berharga untuk selalu
dikenang. Tak ada yang abadi memang, apalagi hanya untuk sebuah hubungan kasih.
Pikiran skeptis saya selalu merasa bahwa sekalipun sudah berjodoh, pasti ada
satu momen dimana kita akhirnya sama-sama akan mengatakan “It’s over. Sorry dear.…” Hal ini pun bisa berlaku untuk sebuah
ikatan sakral seperti pernikahan. Lagi pula yang membedakan itu hanya lah akad
(Janji) diatas kitab suci dan surat yang melegalkan kalau dia sudah sah menjadi
milik kita. Dan saya berpikir satu-satunya cara agar kita tidak melanggar janji
suci tersebut adalah dengan meyakinkan hati bahwa dia benar-benar our betrothed sebelum kita benar-benar
tercebur dalam lembaga tersebut. Dan ini lah alasan klise selanjutnya, karena to be betrothed or not, that’s the question.
Dan walaupun “Fate controls who walks
into your life, but you decide who you let walk out, who you let stay, and who
you refuse to let go.”
02 Mei 2011
Mels