5/28/12

Beberapa Alasan Klise


Akhir-akhir ini saya dihujani oleh banyak undangan pernikahan dari teman, partner kerja, ataupun kerabat. Mendapat undangan pernikahan adalah hal yang sangat biasa bagi saya. Namun, yang tidak saya sangka adalah salah seorang teman dekat saya, sangat dekat bahkan, mengirimkan undangan resepsi pernikahannya hanya dengan melalui sebuah pesan singkat. Teman dekat saya ini, walaupun dia laki-laki namun dia sudah saya anggap lebih dari sekedar teman atau saudara, sampai-sampai saya sendiri tidak pernah menghitung berapa banyak uang saya yang sudah dia pinjam atau pakai baik dia sengaja atau tidak sengaja untuk tidak mengembalikannya. Namun, bukan itu permasalahannya. Saya merasa mengapa saya harus jadi orang yang tidak tahu rencana pernikahannya dan terlibat langsung dalam rencana pernikahannya. “Ah, dia memang selalu begitu.” Hanya kalimat itu satu-satunya cara saya untuk memakluminya. Terlepas dari bagaimana dia mengundang saya, saya tetap datang ke resepsi pernikahannya walaupun saya harus bangun pagi untuk menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan namun masih bisa ditempuh dengan kendaraan umum. Ternyata, resepsi tersebut memang dikhususkan untuk para keluarga dan kerabat dekat saja. Ya, saya sangat mensyukuri hal itu, ternyata saya sudah dia anggap sebagai salah satu kerabatnya.

Sepulang dari perjalanan yang melelahkan itu, saya berpikir dan termenung kemudian menuliskan sebuah kalimat: “Being grown-up means seeing your friends leave and then being alone.” di sebuah situs jaringan sosial. Cukup sulit memang untuk menjadi dewasa dengan cara seperti itu, karena saya harus menjalani hari-hari saya tanpa teman-teman yang sudah mengukirkan kenangan-kenangan indah yang sebenarnya sulit untuk saya hapus. Namun, yang sangat menyulitkan sebenarnya adalah kesendirian yang harus saya hadapi setelah teman-teman saya pergi satu per satu untuk memulai kehidupan mereka yang baru, yang selazimnya mereka mungkin tidak akan membutuhkan saya lagi, walaupun hanya sekedar berbagi rasa tentang sebuah pernikahan, “karena pernikahan itu tidak akan indah dinikmati kalau kita hanya mendengarkan cerita-ceritanya saja, tanpa pernah mengalaminya”. Itu lah salah satu statement teman saya.

Ah, pernikahan bagi saya masih terasa absurd. Entah karena saya belum memiliki alasan kenapa saya harus menikah di pertengahan usia saya yang ke-25 ini atau karena saya belum benar-benar menginginkannya. Walaupun, ibu saya selalu memaksa anak perempuan pertamanya ini untuk cepat-cepat menikah, namun saya sendiri menginginkan satu saja alasan kenapa saya harus menikah, sekalipun alasan itu adalah hanya karena sebuah unwillingness pregnancy. Sehingga, saya selalu berpikir kalau pernikahan itu adalah salah satu atau satu-satunya cara untuk membahagiakan ibu saya. Saya mengerti alasan umum yang dilontarkan setiap teman yang mau atau akhirnya menikah; baik itu karena usia yang semakin bertambah, atau karena pandangan masyarakat yang terlalu sibuk untuk mengurusi hubungan seseorang, ataupun alasan yang sangat romantis, karena takut untuk kehilangan cinta yang telah terbina atau orang yang kita cintai. Untuk dua alasan terakhir diatas pastinya tidak dapat saya jadikan alasan mengapa saya harus menikah. 

Mungkin lebih enak kalau saya bicara alasan mengapa saya masih sendiri, karena saya hapal dengan jelas runutan dari ber poin-poin alasan tersebut, walau saya pun tidak akan menjelaskannya poin per poin. Sebuah alasan walaupun itu terlihat klise namun itu tetap alasan yang patut dipertimbangkan. Saya merasa dalam kesendirian saya, saya belum bertemu laki-laki yang tepat. Klise kan? Ya, mungkin untuk sebagian orang yang sudah berpasangan akan menganggap itu hal yang klise. Berpasangan itu memang indah. Semua orang pasti akan setuju dengan pendapat tersebut. Namun saya merasa diri saya terlalu berharga hanya untuk jatuh ke lubang yang salah. Maka dari itu, sebelum saya benar-benar terjun dalam satu ikatan yang salah, biarkanlah diri saya ini mempunyai sedikit waktu dan ruang untuk sekedar bermain dan mengembangkan diri. Sebelum kebebasan saya itu benar-benar terenggut. Silahkan saja menyebut hal itu sebagai alasan klise yang kedua.

 Belum bertemu laki-laki yang tepat bukan karena saya tidak pernah mencarinya. Saya memiliki banyak teman laki-laki, baik yang lebih muda, sebaya ataupun lebih tua, dan juga dari berbagai kalangan. Walaupun terkadang saya berteman dalam sebuah geng atau grup, saya adalah orang yang mampu untuk sekedar jalan bareng atau mengobrol bareng dengan teman yang tidak akrab ataupun orang baru. Maka dari itu, saya tidak masalah kalau untuk berkenalan dengan laki-laki baru dan kemudian ‘having blind date’. Ya, saya pernah mengalaminya dua sampai tiga kali. Namun, selalu saja ada hal yang tidak berjalan mulus pada akhirnya. Dan itu disebabkan karena saya yang selalu merasa, “He’s not the right one.”  Atau, “He’s not the perfect of mine.” Mungkin ini adalah alasan klise nomor tiga. 

Atau karena saya tidak pernah jatuh cinta? Ah, jangan tanyakan masalah itu, karena saya adalah orang yang mudah tersentuh dan mudah untuk jatuh cinta, walaupun pada akhirnya saya sangat sulit untuk menghilangkan rasa cinta itu. Ya, banyaknya teman laki-laki membuat saya terkadang sedikit menyimpan rasa suka terhadap teman-teman saya itu. Mungkin, saya adalah orang yang tidak bisa jatuh cinta pada pertemuan pertama, kedua, atau ketiga. Tapi saya selalu jatuh cinta dan luluh hanya karena sebuah intensitas pertemanan. Tapi, pertemanan itu terlalu indah hanya untuk dirusak oleh perasaan yang membutakan. Dan akhirnya, saya tidak pernah bisa berpacaran dengan atau memacari teman saya. Sebutlah ini sebagai alasan klise keempat. 

Bagaimana dengan berpacaran? Dari SMP saya sudah mengalami naik turunnya perasaan yang dipermainkan oleh satu hal yang disebut cinta dan dari SMP pula saya sudah terbiasa menjadi bintang (bintang kelas maksudnya) yang mungkin bisa dijadikan dasar sebagai gadis yang patut untuk dipacari. Dua sampai empat kali saya menolak teman laki-laki saya saat saya berada di bangku sekolahan. Berbagai macam alasan klise pula saya lontarkan pada saat itu, karena mau fokus belajar ataupun sebenarnya hanya karena satu hal, “I don’t like you boy.”  Dan hanya ada dua laki-laki yang dapat menggoreskan warna-warna indah kisah cinta semasa sekolah dan kuliah yang sekaligus menorehkan luka dan pelajaran penting nan berharga untuk selalu dikenang. Tak ada yang abadi memang, apalagi hanya untuk sebuah hubungan kasih. Pikiran skeptis saya selalu merasa bahwa sekalipun sudah berjodoh, pasti ada satu momen dimana kita akhirnya sama-sama akan mengatakan “It’s over. Sorry dear.…” Hal ini pun bisa berlaku untuk sebuah ikatan sakral seperti pernikahan. Lagi pula yang membedakan itu hanya lah akad (Janji) diatas kitab suci dan surat yang melegalkan kalau dia sudah sah menjadi milik kita. Dan saya berpikir satu-satunya cara agar kita tidak melanggar janji suci tersebut adalah dengan meyakinkan hati bahwa dia benar-benar our betrothed sebelum kita benar-benar tercebur dalam lembaga tersebut. Dan ini lah alasan klise selanjutnya, karena to be betrothed or not, that’s the question. Dan walaupun “Fate controls who walks into your life, but you decide who you let walk out, who you let stay, and who you refuse to let go.”

02 Mei 2011
     Mels       

Followers

Theme images by andynwt. Powered by Blogger.
 

© Ruang Cerita, All Rights Reserved
Design by Dzignine and Conceptual photography