Senja di Kostan…
Dua puluh lima menit yang lalu tepatnya aku
dan salah satu teman kostanku telah sedang membicarakan tentang menjadi
perempuan hebat atau biasa. Seperti apakah perempuan hebat itu? Apakah dengan
dia mempunyai karir hebat dan berpenghasilan yang cukup baru bisa disebut
sebagai perempuan hebat? Atau dengan dia menjadi istri seorang pejabat kaya?
Ataukah dia harus mempunyai tubuh molek dan indah layaknya selebritis dan
digandrungi banyak laki-laki? Dan, apakah seorang perempuan yang patuh pada
kodratnya, menjadi ibu dan istri yang baik, yang kesehariannya selalu mengurus
anak, suami, mertua dan rumahnya adalah
seorang perempuan yang biasa?
Teman satu kostku itu menjawab kalau
menjadi perempuan hebat adalah dengan menjadi perempuan yang ideal di mata
suaminya. Dia berpikir bahwa hal itu sudah cukup baginya. Sekalipun, sosok
ideal bagi suaminya adalah seorang perempuan yg patuh dan selalu menaati
perintah dan permintaan suaminya dari mulai urusan lahir sampai batin mungkin
juga termasuk memakaikan dasi sampai membukakan kaos kaki suami atau bahkan
mencucikan kedua kaki suaminya. Walaupun dirinya tidak seideal itu, dia akan
berusaha untuk menjadi ideal di mata suaminya. Dan aku menjawab, ‘ya, itu
memang perempuan hebat!’. Bahkan aku pikir perempuan itu sangat hebat, karena
tak mudah memang bagiku untuk melakukan hal seperti membukakan sepatu atau
memakaikan kaos kaki padahal laki-laki tersebut mempunyai dua tangan yang masih
utuh, sehat, dan dalam keadaan sadar.
Entah pikiranku terlalu ekstrim atau
modern, atau karena aku terlalu banyak menelan bulat-bulat teori-teori
feminisme semasa kuliah yang sampai sekarang aku sadari masih belum bisa aku
lahap semua. Sebenarnya cukup bagiku hanya menjadi seorang perempuan saja,
tidak perlu menjadi hebat tapi juga tidak biasa. Ah, walaupun aku sendiri belum
tahu arti menjadi seorang perempuan, dan harus menjadi perempuan seperti apa.
Ya, karena secara dan sedari lahir aku sudah menjadi perempuan dan aku
terpenjara dalam sebuah kelamin yang di/ter-identifikasikan sebagai perempuan
yang kemudian terkonstruksi secara sosial (bahkan semenjak Adam dan Hawa
diciptakan) bahwa aku yang perempuan harus berpasangan dengan laki-laki yang
memang sudah terkonstruksi secara sosial dan juga agama sebagai sosok yang
wajib memimpin – dalam hal ini liannya;perempuan – karena kalaupun simbolisasi
tersebut berbalik, apakah konstruksi tersebut akan berubah? Aku pikir aku tidak
perlu menjawab ataupun merubah hal yang memang sudah ada dan tercipta dengan
sendirinya. Ya, karena aku bukanlah tipe orang yang dengan repotnya ingin
membalikkan keadaan yang sudah terkonstruksi dengan indahnya atau sebenarnya
membalikkan keadaan itu sendriri pun sebenarnya tidak akan menyelesaikan hal
ini (Ah, entah kapan keadaan di dunia ini bisa menjadi setara!)
Aku yang adalah perempuan seperti layaknya
perempuan lainnya, mempunyai satu gelembung besar yang berisikan impian-impian
yang sampai saat ini belum tercapai; aku ingin memiliki teman hidup yang tidak
menuntut aku untuk menjadi seperti perempuan-perempuan itu; yang setiap hari
bangun pagi, membuat sarapan, memilihkan baju untuknya berangkat kerja serta
menyambutnya setelah dia asyik seharian di kantor, menemaninya tanpa perlu
menuntut untuk ditemani, membuatnya bangga dengan melahirkan anak-anak yang sehat
dan lucu, menjadi perempuan yang kesabarannya melebihi persentase normal dan
mengurus rumah serta semua keperluannya. Namun, aku menginginkan seorang teman
hidup yang memperbolehkan aku untuk menjadi seperti perempuan-perempuan itu
yang selalu cemerlang, mandiri, dan selalu berkarya, tidak mandeg dan diam,
mampu dengan bebas mengutarakan argumen-argumen tentang apapun, melakukan
hal-hal yang aku mau tanpa memikirkan pantas atau tidak pantas, dan berjaya. Dan
juga, aku menginginkan sosok teman hidup yang bisa memandang perempuan ini
sebagai sosok yang ideal dengan apa adanya dirinya, karena laki-laki itu sudah
cukup ideal dalam pandanganku. Itu saja yang kumau. Apakah terlalu berlebihan?
Aku tidak perlu menjadi perempuan hebat atau biasa. Aku hanya ingin menjadi
perempuan yang aku mau.
Mel, 18: 45 P.M