Pekan kemarin beberapa teman saya mengadakan sebuah
seminar tentang kesehatan dan kecantikan dengan judul “Health Care Seminar and Beauty Class”. Sebagai perempuan yang juga
senang berdandan saya pikir seminar ini cukup menarik, karena para perempuan
yang belum paham bagaimana cara menjaga kesehatan dan kecantikannya jadi paham
mengenai hal tersebut. Namun, sayangnya saya tidak dapat menghadiri seminar
tersebut dengan alasan yang sangat cukup mendasar. Saya harus pulang ke rumah
orangtua saya. Ya, walaupun rumah orangtua saya tidak terlalu jauh, masih bisa
ditempuh dengan satu kali naik bis, tapi bagi saya pulang ke rumah orangtua
saya yang sudah tidak saya kunjungi hampir satu bulan itu merupakan hal yang
penting, bahkan bisa lebih penting dari hal manapun.
Sesampainya di rumah, saya dikejutkan dengan kartu
undangan ulang tahun sepupu perempuan saya yang berumur 4 tahun. Jelas saya
terkejut, karena bisa-bisanya anak gadis berumur empat tahun mengundang saya
yang juga anak gadis tapi berumur 26 tahun ini. Bukankah akan tampak aneh
ketika saya menjadi satu-satunya tamu undangan yang usianya 6 kali lipat dari
yang berulang tahun? Atau akan menjadi sangat aneh ketika saya datang ke ulang tahun tersebut
tanpa membawa anak kecil, karena kemungkinan yang paling mungkin akan terjadi
kalau saya tidak membawa anak kecil adalah para ibu-ibu yang mengantarkan
anaknya ke pesta ulang tahun tersebut pasti akan bertanya: “Anaknya mana bu?”
atau “Temennya mama Elfa ya?” Mana mau saya dianggap sebagai temannya bibi saya
yang berumur sekitar 38 tahun! Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak pergi ke
ulang tahun sepupu saya itu. Saya hanya akan memberinya kado. Tanpa menunggu
keputusan dari ibu saya, saya langsung menelepon rumah bibi saya untuk bertanya
kado apa yang diinginkan oleh anak 4 tahun yang sudah cukup lancar bicara di
telepon itu. Dengan agak cadel, Elfa pun menjawab “minta boneka Barbie.” Iseng
saya bertanya kenapa, Elfa menjawab kembali “abis cantik sih.”
Keesokan harinya sepulang ngajar, saya mampir ke toko
mainan di mall yang katanya paling besar di daerah saya. Langsung saya menuju Barbie corner. Di pojok yang tidak
terlalu sempit itu, beraneka ragam Barbie dipajang, dari mulai Barbie yang
mengenakan jilbab sampai pakaian-pakaian kasual, kantor, ataupun pesta lengkap
dengan atribut-atribut lainnya. Melihat Barbie-Barbie itu dipajang, saya pun
teringat ketika saya kecil saya sempat sangat menginginkan Barbie. Dan ternyata
sampai saat ini Barbie masih tetap menjadi mainan favorit anak perempuan.
Bahkan untuk sepupu kecil saya itu. Alasan saya ingin memiliki Barbie pun sama
seperti alasan sepupu kecil saya itu; karena Barbie cantik.
Kata cantik lalu melintas di pikiran saya seperjalanan
saya pulang dari toko mainan itu dengan membawa satu kantong belanjaan berisi
Barbie pesanan sepupu saya. Seperti kebetulan dengan beauty class yang tidak jadi saya hadiri itu, bahwa cantik itu
memang sudah melekat di diri perempuan dan juga sepupu kecil saya itu, karena
cantik yang dia tahu saat ini adalah cantik yang dimiliki oleh Barbie. Kecantikan
Barbie-Barbie yang dipajang di toko mainan tersebut masih sama seperti
kecantikan Barbie yang saya tahu waktu saya kecil; tinggi, ramping, berkulit
kuning langsat, bermata coklat (sebagian Barbie masih ada juga yang bermata biru), hidung bangir, pipi tidak
terlalu chubby, bibir merah, dagu
agak lancip, dan rambut pirang walau ada juga yang berambut hitam (mungkin
menyesuaikan pasar Indonesia atau Asia). Deskripsi itu lah yang dianggap cantik
oleh sepupu saya, dan juga semasa kecil saya, dan kecantikan itu ternyata masih
ada dan dianggap sampai sekarang. Kecantikan yang sempurna tapi juga
propagandis – propaganda bahwa menjadi cantik itu mesti serupa dengan gambaran
Barbie-Barbie tersebut, kecantikan yang abadi. Jelas abadi, karena sewujudnya
Barbie hanyalah sebuah boneka. Setiap perempuan dewasa mungkin memahami hal
tersebut, tapi tidak untuk sepupu kecil saya itu. Baginya yang hanya berumur 4
tahun, itu lah yang disebut cantik atau menjadi cantik. Dia mungkin dapat
merefleksikan dirinya ke boneka Barbie itu, dan tanpa dia sadari dia ingin
menjadi seperti Barbie atau cantik
seperti Barbie. Sederhananya adalah kecantikan Barbie yang dengan mudah
diciptakan dan dibuat itu dengan mudah pula menanamkan konsep cantik di setiap
pikiran anak perempuan yang akan dia pahami terus selamanya. Bagi setiap
perempuan, cantik itu memang tidak harus seperti Barbie, tapi menjadi cantik
itu mungkin saja seperti penggambaran yang ada dalam boneka Barbie.
Setiap perempuan ingin menjadi cantik sekalipun dia
mengatakan dia tidak menginginkannya atau sekalipun dia selalu meyakinkan
dirinya kalau dia tidak cantik. Tapi, semakin dia tidak menginginkannya, itu
malah semakin menegaskan kalau dia sebenarnya sangat menginginkan untuk menjadi
cantik. Terbukti dengan semakin banyaknya kelas kecantikan ataupun
produk-produk kecantikan yang ditujukan untuk perempuan hanya untuk menjadi
cantik. Menjadi cantik atau tidak bagi saya adalah hak mutlak setiap perempuan,
karena wajah itu, rambut itu, mata itu, hidung itu, pipi itu, bibir dan tubuh
itu adalah milik dirinya sendiri. She owns her body, maka dirinya lah
yang berhak menentukan cantik seperti apakah yang dia inginkan, baik itu
seperti Barbie ataupun tidak. Namun, ketika akhirnya konsep cantik itu sudah
diseragamkan dalam sebuah gambaran Barbie, bagi saya itu sama saja
menghilangkan hak mutlak seorang perempuan untuk menjadi cantik. Tanpa Barbie,
tanpa sebuah seminar, tanpa sebuah kelas kecantikan, sekalipun tanpa produk
kecantikan apapun, perempuan sudah cantik dengan apa yang dia mau dan dengan
apa adanya dirinya, karena cantik dan menjadi cantik itu adalah hak mutlak
setiap perempuan. Saya cantik, anda juga!